Biar kumulai tulisan ini dengan selembar foto, karena ada yang harus kutuangkan dari kepala. Terkadang foto lebih mewakili cerita. Tapi, apalah arti dari selembar foto kota Jakarta yang kuambil dari ketinggian pada 2012 silam?
Tidak ada.
Tapi menjadi ada, ketika setahun setelah kuambil foto tersebut, aku bertemu kamu. Perempuan ibukota, perempuan yang mengajakku bermain rasa, perempuan yang dari tangannya lahir ratusan nada. Ah, dari mana aku mulai ceritanya? Nama? Kalian butuh nama?
Namanya Langit. Seperti namanya, aku pun tak yakin ia berasal dari bumi. Dan dari namanya, tak kentara pula bahwa ia berasal dari Jakarta. Tingginya? Tak lebih tinggi dari aku. 160-an mungkin. Parasnya? Biasa saja, tapi senyumnya menyenangkan. Tawanya apalagi, renyah.
Aku bertemu Langit di kereta Parahyangan dari Bandung menuju Jakarta. Ya kau tahulah, seperti cerita-cerita di FTV, di mana segalanya sudah diplot dengan sangat baik. Aku duduk tepat di samping jendela, sedang memandang ke luar, saat Langit datang dan duduk di sampingku. Ia duduk begitu saja, tanpa basa-basi, tanpa senyum sana-sini. Ia duduk dan lalu sibuk dengan musik di telinganya. Bersenandung ‘Ke Entah Berantah’ milik Banda Neira.
♫♪ Dia datang saat hujan reda
Semerbak merekah namun sederhana
Dia bertingkah tiada bercela
Siapa kuasa
Dia menunggu hingga ku jatuh
Terbawa suasana
Dia menghibur saat ku rapuh
Siapa kuasa
Dan kawan
Bawaku tersesat ke entah berantah
Tersaru antara nikmat atau lara
Berpeganglah erat, bersiap terhempas
Ke tanda tanya… ♪♫
.
Kamu tahu, Langit? Saat itu, saat aku menatapmu yang duduk di sampingku, bersenandung dengan suara yang renyah sambil memejamkan mata tanpa memedulikan sekitar, mungkin adalah saat di mana aku jatuh. Suaramu benar-benar membawaku ke entah berantah. Iya, aku jatuh pada suaramu. Lalu, aku semakin jatuh ketika kamu yang sudah selesai menyanyi, menatap aku yang sedang menatapmu dalam diam. Sedetik setelahnya, kamu tertawa. Tawa yang renyah. Dan tanpa peringatan, kamu menyodorkan tangan.
“Hai. Langit. Sorry, nyanyinya ganggu ya?” Ujarmu dengan penuh senyum, sambil menunjuk dirimu sendiri saat mengucap kata ‘Langit’.
“Hai.. Gue Arya.” Balasku, sambil menyambut sodoran tanganmu. Tangan mungilmu yang kini sudah tidak bisa lagi kugenggam erat seperti dulu.
Begitulah pertemuan pertama kita. Kalau diingat-ingat sekarang, rasanya seperti menonton FTV. Tak yakin nyata.
Se-tak yakinnya aku ketika mendengar kabarmu yang sudah tiada. Iya, kabar itu begitu tiba-tiba. Seperti jatuhnya aku pada tatapmu yang juga tiba-tiba.
Langit, akhir-akhir ini Jakarta dirundung mendung.
Dan tetiba aku rindu…
.
.
ps: Selamat sore dan selamat menikmati! Sudah lama rasanya nggak nulis di sini. Kemarin setelah baca blog seorang teman, tetiba jadi ingin menulis. Karena nggak tau juga mau menulis apa, karena si hati juga lagi nggak merasa apa-apa, jadi jadilah tulisan instan ini. Belum tau mau dibawa ke mana. Belum tau akan berakhir seperti apa. Pada akhirnya, saya hanya ingin menulis, jadilah saya menulis. Oh iya, foto diambil dari puncak Monas ketika Jakarta sedang mendung-mendungnya, menggunakan kamera analog FM10. 🙂
https://soundcloud.com/bandaneira/ke-entah-berantah-versi-album