.01 Namanya Langit

Jakarta, kotamu, yang akhirnya kudatangi demi secercah harapan.

Jakarta di saat mendung. Kotamu, yang akhirnya kudatangi demi secercah harapan.

Biar kumulai tulisan ini dengan selembar foto, karena ada yang harus kutuangkan dari kepala. Terkadang foto lebih mewakili cerita. Tapi, apalah arti dari selembar foto kota Jakarta yang kuambil dari ketinggian pada 2012 silam?

Tidak ada.

Tapi menjadi ada, ketika setahun setelah kuambil foto tersebut, aku bertemu kamu. Perempuan ibukota, perempuan yang mengajakku bermain rasa, perempuan yang dari tangannya lahir ratusan nada. Ah, dari mana aku mulai ceritanya? Nama? Kalian butuh nama?

Namanya Langit. Seperti namanya, aku pun tak yakin ia berasal dari bumi. Dan dari namanya, tak kentara pula bahwa ia berasal dari Jakarta. Tingginya? Tak lebih tinggi dari aku. 160-an mungkin. Parasnya? Biasa saja, tapi senyumnya menyenangkan. Tawanya apalagi, renyah.

Aku bertemu Langit di kereta Parahyangan dari Bandung menuju Jakarta. Ya kau tahulah, seperti cerita-cerita di FTV, di mana segalanya sudah diplot dengan sangat baik. Aku duduk tepat di samping jendela, sedang memandang ke luar, saat Langit datang dan duduk di sampingku. Ia duduk begitu saja, tanpa basa-basi, tanpa senyum sana-sini. Ia duduk dan lalu sibuk dengan musik di telinganya. Bersenandung ‘Ke Entah Berantah’ milik Banda Neira.

♫♪ Dia datang saat hujan reda
Semerbak merekah namun sederhana
Dia bertingkah tiada bercela
Siapa kuasa 

Dia menunggu hingga ku jatuh
Terbawa suasana
Dia menghibur saat ku rapuh
Siapa kuasa 

Dan kawan
Bawaku tersesat ke entah berantah
Tersaru antara nikmat atau lara
Berpeganglah erat, bersiap terhempas
Ke tanda tanya… ♪♫

.

Kamu tahu, Langit? Saat itu, saat aku menatapmu yang duduk di sampingku, bersenandung dengan suara yang renyah sambil memejamkan mata tanpa memedulikan sekitar, mungkin adalah saat di mana aku jatuh. Suaramu benar-benar membawaku ke entah berantah. Iya, aku jatuh pada suaramu. Lalu, aku semakin jatuh ketika kamu yang sudah selesai menyanyi, menatap aku yang sedang menatapmu dalam diam. Sedetik setelahnya, kamu tertawa. Tawa yang renyah. Dan tanpa peringatan, kamu menyodorkan tangan.

“Hai. Langit. Sorry, nyanyinya ganggu ya?” Ujarmu dengan penuh senyum, sambil menunjuk dirimu sendiri saat mengucap kata ‘Langit’.

“Hai.. Gue Arya.” Balasku, sambil menyambut sodoran tanganmu. Tangan mungilmu yang kini sudah tidak bisa lagi kugenggam erat seperti dulu.

Begitulah pertemuan pertama kita. Kalau diingat-ingat sekarang, rasanya seperti menonton FTV. Tak yakin nyata.

Se-tak yakinnya aku ketika mendengar kabarmu yang sudah tiada. Iya, kabar itu begitu tiba-tiba. Seperti jatuhnya aku pada tatapmu yang juga tiba-tiba.

Langit, akhir-akhir ini Jakarta dirundung mendung.

Dan tetiba aku rindu…

.

.

ps: Selamat sore dan selamat menikmati! Sudah lama rasanya nggak nulis di sini. Kemarin setelah baca blog seorang teman, tetiba jadi ingin menulis. Karena nggak tau juga mau menulis apa, karena si hati juga lagi nggak merasa apa-apa, jadi jadilah tulisan instan ini. Belum tau mau dibawa ke mana. Belum tau akan berakhir seperti apa. Pada akhirnya, saya hanya ingin menulis, jadilah saya menulis. Oh iya, foto diambil dari puncak Monas ketika Jakarta sedang mendung-mendungnya, menggunakan kamera analog FM10. 🙂

https://soundcloud.com/bandaneira/ke-entah-berantah-versi-album

Shortcut

Februari 2012

Menjelang senja, di sudut kafe itu sepasang kekasih tengah berbicara. Terlihat dari kerutan kening di keduanya, pembicaraan serius. Si lelaki meletakan makanannya ke samping meja. Kemudian ia keluarkan rokok keretek beserta pemantik dari saku kemejanya. Rokok pun dinyalakan dan dihisapnya perlahan. Si perempuan beda lagi. Ia ambil sehelai tisu dari tasnya dan mencengkeram tisu itu kuat-kuat. Ada yang perempuan itu tahan. Mungkin isak. Siapa tahu?

Lelaki (L) : Aku salah apa?

Perempuan (P) : Kamu tinggalin aku. *mata perempuan tak menatap lelaki. Ia menerawang jauh keluar jendela kafe. Jauh masuk ke alam pikirannya sendiri*

L : Tinggalin dari mana? Ya udah sekarang diselesaiin aja. Apa yang sebenernya mau kamu omongin? *si lelaki mengepulkan asap rokoknya ke udara*

P : Kamu sayang aku ga sih? Aku minta putus, kamu bilang ‘ga mau’ tapi kemudian kamu pergi ngilang tanpa pernah ngehubungin aku. Dua minggu kaya gitu. Apa maksud kamu? *tatapan perempuan kini tertuju pada lelaki. Tajam*

L : Ya, sayang. Masa harus disebut sih? Lagian kamu sendirinya juga ngilang sih. *lelaki tak kalah tajam menatap mata si perempuan*

P : Aku? Ngilang? Kamu tau dimana kamu bisa menemukan aku. Aku ga pernah pergi. Bukankah selalu kamu yang datang dan pergi seenak hati kamu ke tempat aku?

L : …

P : Kamu tau segalanya ini pertama buat aku. Aku ke dokter saat itu dan ga ada kamu. Ga tau apa betapa malunya aku harus ke tempat itu seorang diri? Tega kamu! *lanjut si perempuan tak memberikan kesempatan untuk si lelaki berbicara*

L : Iya aku salah ga anter kamu ke dokter. Maaf…

P : Bahkan kata ‘maaf’ kamu pun harus aku yang mulai. Yaudahlah.

Perempuan angkat kaki. Meninggalkan si lelaki dan secangkir latte yang mendingin tak tersentuh.

.

April 2012

Di ketinggian ini aku berdiri, menantang mautku sendiri. Di senja ini aku ingin mengakhiri. Terjun bebas berharap jatuh ke aspal dalam keadaan mati. Tak perlu mengalami rasa sakit lagi. Sekejap. Aku hanya butuh keberanian untuk melompat, kemudian dilibas kendaraan yang lalu-lalang.

Sudah kutanggalkan semua identitas diri. Yang kubawa saat ini hanya aku dan pakaian yang melekat di tubuh. Bahkan ponsel pun tak kubawa. Aku tak ingin ada yang mengenalku saat aku mati. Orang itu juga tak perlu tahu aku mati. Biarkan ia mencari aku terus-menerus dengan membawa penyesalan yang akan ia tanggung sampai mati. Impas.

.

Sehari sebelumnya

“Selamat ya Bu! Sudah isi dua bulan lho ini. Dijaga kandungannya. Kunjungan selanjutnya minta ditemani suaminya yah…”

“Dokter pasti bercanda.”

.

.

Trauma berasal dari bahasa Yunani yang berarti luka. Kata tersebut digunakan untuk menggambarkan situasi akibat peristiwa yang dialami seseorang. 
Para Psikolog menyatakan trauma dalam istilah psikologi berarti suatu benturan atau suatu kejadian yang dialami seseorang dan meninggalkan bekas. 
Biasanya bersifat negative, dalam istilah psikologi disebut post-traumatic syndrome disorder.